Oleh: Nurhemida, Ph.D
“Kenapa harus ke Australia lagi, Miss? Itu bukan negara Islam!”
Ini adalah sepenggal pesan yang dikirimkan seorang alumni, siswi yang penulis pernah ajar ketika dia duduk di bangku SMA. Dia berkirim pesan ketika mengetahui bahwa penulis kembali melanjutkan pendidikan. Penulis merasa senang bahwa dia berinisiatif mengirim pesan, mengutarakan uneg – unegnya. Penulis asumsikan hal ini sebagai wujud kepeduliannya dan bahwa kami setidaknya telah berhasil membantunya menjadi manusia merdeka yang berani mengutarakan pendapat dan bertanya.
Alhamdulilaah, pesan siswi ini justeru mengokohkan motivasi penulis untuk melanjutkan perjalanan dan perjuangan, untuk belajar banyak hal di negeri orang, bukan sekedar mengejar gelar akademik. Siswi ini mungkin merujuk kepada pendapat beberapa ahli agama Islam yang khawatir bahwa putra – putri, pelajar Islam, tidak akan kukuh iman mereka ketika berada di negara non – Islam. Para ulama ini khawatir bahwa berada di lingkungan non – Islam, generasi muda Islam akan melakukan hal – hal ‘maksiat’ yang mereka lihat di lingkungan, dengan fasilitas mungkin lebih lengkap dan seolah ‘menggoda’ untuk dicoba. Dan, tentu, kekhawatiran ini memang bisa saja terjadi. Penulis lihat memang ada kasus kawan – kawan sesama pelajar yang kemudian ‘terjerumus’. Awalnya ingin coba – coba budaya baru, ingin lebih masuk ke pergaulan baru yang terlihat lebih penuh warna. Kemudian, menjadi kebiasaan dan ‘betah’, menggangap apa yang mereka lakukan dan jalani di Indonesia tidak lagi cocok dengan pola hidup modern dan ‘gaul’ internasional mereka. Tentu, ada kasus – kasus seperti ini. Namun, dari pengamatan penulis, penulis bisa katakan, jumlahnya lebih sedikit, dibanding jumlah pelajar yang tetap ‘kukuh’ atau malah makin ‘kuat’ memegang nilai – nilai keyakinan mereka.
Hampir keseluruhan pelajar yang makin ‘kukuh’ ini malah ingin menjadikan kesempatan berada di negara tempat belajar mereka sebagai ladang untuk da’wah, memperkenalkan Islam kepada siapa saja yang mau belajar Islam, langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, misalnya ada beberapa mahasiswa non-Islam yang awalnya tertarik melihat kegiatan – kegiatan yang dilakukan mahasiswa Islam, kemudian belajar Islam kepada seorang syekh yang ditunjuk oleh universitas untuk memimpin kegiatan keIslaman di kampus. Atau, ada juga teman dari Oman, yang mengajari seorang teman bule tentang nilai – nilai Islam, sehingga kemudian dia convert/log in, mengucap Syahadatain.
Secara tidak langsung, keberadaan mahasiswi Islam dengan hijab/jilbab mereka juga telah menjadi jalan da’wah. Misalnya, adalah hal yang wajar dan sering terjadi, ketika penulis disapa warga lokal ketika berpapasan, dan mereka memperlihatkan sikap respek mereka. Di beberapa kesempatan, mereka bertanya, “Are you a Muslim?” Hanya dengan kostum, identitas penulis terlihat. Kadang, anak – anak kecil akan bertanya, “What do you wear on your head? Why do you wear it?” Dan sebisanya penulis akan menjelaskan bahwa yang penulis pakai adalah simbol, identitas penulis sebagai seorang Muslimah. Orang – orang dewasa kadang akan melanjutkan pertanyaan mereka apakah penulis tidak merasa terpaksa memakai hijab, tidak merasa panas (terutama ketika musim panas). Alhamdulilaah, walaupun hanya dengan memberikan testimoni bahwa penulis merasa tidak terpaksa dan panas, penulis merasa setidaknya sudah berpatisipasi dalam da’wah, memperkenalkan Islam, tidak hanya kepada penduduk lokal, tetapi juga mahasiswa dan masyarakat internasional di sekeliling penulis.
Hampir di setiap kali kami, mahasiswa Muslim, mengadakan kegiatan keIslaman di kampus, kami akan mengajak pengungjung non-muslimah untuk mencoba memakai hijab. Para bule dan mahasiswi internasional akan dipakaikan jilbab yang mereka pilih dari beberapa style yang disediakan. Ada hijab ala Arab, Pakistan, Bangladesh, atau jilbab Malaysia dan Indonesia. Pada umumnya mereka terlihat senang dan akan meminta untuk difoto dengan hijab/jilbab mereka.
Selain itu, jilbab yang penulis dan kawan – kawan Muslimah lain pakai, seolah menjadi pelindung dan perisai kami. Teman – teman non-Muslim akan lebih berhati – hati dan menjaga ketika kami ingin makan bersama misalnya. Mereka akan selalu berusaha memilih tempat yang menyediakan hidangan vegan dan vegetarian. Dalam suatu kesempatan, seorang teman dari Vietnam mencegah penulis ketika ingin mencoba Pho, makanan berkuah kaldu sapi khas Vietnam yang disantap bersama mi putih kenyal, irisan daging, dan sayuran segar. Info dari beberapa teman Muslim lain, Pho di restaurant tersebut sudah menggunakan sapi halal. Namun, teman Vietnam yang pergi dengan penulis khawatir bahwa untuk membuat Pho, seperti yang dia tahu, penjual bisa saja tetap menggunakan bumbu yang sama dengan kemungkinan bahan berasal dari B2. Maka, dia menyarankan agar penulis memilih fish and chips saja yang sudah pasti hanya melalui proses penggorengan biasa.
Juga, bagi kami, jilbab membantu kami agar lebih berhati – hati bersikap karena apa yang kami lakukan bisa saja akan dijadikan sebagai penilaian atas seperti apa seorang Muslim selayaknya. Dalam skala da’wah lebih besar, ada beberapa kegiatan keIslaman yang rutin dilakukan di kampus, seperti Pizza Day. Ini biasa dilakukan di awal semester untuk menyambut mahasiswa yang baru datang. Kegiatan dilakukan di salah satu lapangan terbuka di kampus, dengan beberapa tenda didirikan, menyediakan pizza halal sebagai menu utama, ditambah beberapa makanan sumbangan mahasiswa dari negara – negara Islam yang ingin berpartisipasi. Tidak ada acara resmi seperti kata – kata sambutan, tetapi hanya berupa undangan kepada semua mahasiswa Islam yang tergabung dalam mailing list untuk datang, makan bersama. Biasanya makanan akan tersedia setelah Asyar, sehingga mahasiswa yang telah usai perkuliahan atau sedang beristirahat sore bisa datang hingga waktu Magrib. Mereka dipersilakan membawa teman – teman mereka, Islam maupun non. Penulis biasanya mengajak dan membawa pembimbing dan teman – teman sekantor (rekan mahasiswa S3) untuk ikut datang ke kegiatan ini. Juga, bahkan, mahasiswa yang berlalu lalang, siapa pun, diajak untuk menikmati hidangan dinner dengan pizza atau makanan lain yang tersedia.
Seyogyanya hidup berdampingan secara damai akan terasa lebih indah ketika interaksi dan pembelajaran dapat berlangsung dari kedua belah pihak. Dengan penampilan dan kegiatan – kegiatan yang diadakan mahasiswa dan warga Muslim, kami mencoba memperkenalkan Islam dan budaya – budayanya kepada masyarakat lokal dan internasional yang berada disekitar kami. Kemudian, adakah yang dapat kami pelajari juga dari mereka? Ada, dan tidak sedikit pula.
Kesimpulan utama yang penulis catat adalah bahwa mereka, non – Islam, mungkin kadang justeru mempraktikkan nilai – nilai yang lebih Islami, dari apa yang kami, yang mengaku Islam ini, lakukan. Contoh sederhana, akan sangat sulit bagi kita menemukan sampah dimana pun. Setiap ruang, pojok, semua terlihat bersih dan rapi. Sepertinya mereka lebih memahami bahwa kebersihan itu sangat penting, Sebagian dari iman dalam ajaran Islam. Di tempat umum, semua orang menjaga, tidak ingin melihat lingkungan mereka tidak bersih.
Nyinyir untuk kepentingan umum, tetapi tidak resek mengurusi urusan pribadi orang lain juga terlihat dalam berbagai peristiwa keseharian. Ada seseorang nenek – nenek bule yang tinggal di apartment seberang tempat penulis tinggal. Di gedung tersebut juga ada teman – teman dari Indonesia dan Malaysia yang ramai – ramai menyewa 1 unit. Mereka bercerita bahwa si nenek suatu pagi mengirimi mereka surat, diletakkan di bawah pintu, meminta mereka memilah sampah sebelum dimasukkan kedalam tong sampah di depan gedung. Secara khusus, si nenek meminta mereka untuk berhati – hati dengan tulang ikan. Mereka diharapkan untuk memastikan terlebih dahulu bahwa tulang – tulangnya sudah kering dan bersih dan dimasukkan kedalam plastik tertutup untuk menghindari agar tidak ada yang tercecer, tidak akan melukai penghuni lain atau petugas yang mengambil sampah. Serta tidak mengundang binatang untuk berkerumun.
Di kesempatan lain, si nenek berkirim surat cinta lainnya, mengingatkan agar under wear tidak dijemur di balkon/tempat yang terlihat secara langsung oleh orang lain. Mungkin bagi sebagian kita hal ini dianggap jadul. Namun, penulis bisa melihat betapa di tengah kehidupan mereka yang sering kita anggap sangat dan lebih modern daripada kita, ternyata mereka masih memegang nilai – nilai baik untuk senantiasa menjaga dan mengutamakan keselamatan dan mata orang lain dari hal – hal yang tidak diinginkan. Mungkin karena beliau sudah tua, sehingga seperti ini? Tidak juga. Ketika penulis bertandang ke apartment seorang teman putri, bule Australia, penulis melihat dia menjemur pakain dalamnya di dalam kamar, di sebuah rak khusus di dekat kamar mandinya. Tidak di balkon yang ada diluar, dengan penerangan matahari yang lebih terang dan terik.
Pengalaman lain yang mengajarkan kepada penulis bahwa mungkin saja kita Muslim, tetapi mungkin belum sepenuhnya mengamalkan nilai – nilai yang Islami adalah ketika penulis mendengar dan mengalami indahnya pergaulan mereka dengan three magic words. Please, Sorry, Thank you adalah kata – kata yang lazim di dengar dimana – mana. Ketika kita saling tidak sengaja bersenggolan di mall, kita akan saling mengucapkan Sorry. Dalam pengalaman penulis, tidak pernah terdengar hardikan atau terlihat mata melotot karena ada yang merasa lebih benar atau tersinggung karena tersenggol orang lain. Ketika secara tidak sengaja kita ‘berebut’, mengambil barang yang sama, kita akan saling mempersilahkan dan memberikan barang tersebut dengan menjulurkan tangan dan mengucapkan Please. Setiap kali kita turun dari bus atau kendaraan umum lainnya seperti City Cat, dan ketika melewati konter di stasiun kereta api, akan selalu terdengar kata Thank you, disertai senyuman. Semua saling menghargai, tidak ada yang merasa lebih tinggi daripada yang lain. Sebuah nilai Islami yang menurut penulis, mungkin lebih bermakna dan dipraktikkan dengan lebih bersungguh – sungguh oleh orang – orang yang kita beri predikat non – Muslim tersebut.
Tentu, ada pula hal yang menurut penulis perlu kita renungkan lebih dalam. Misalnya, suatu ketika di lingkungan kami ada tinggal nenek – nenek yang sudah uzur, tinggal sendirian. Keluarga beliau tinggal di kota – kota berbeda. Secara finansial beliau mandiri. Namun, karena suatu kecelakaan, beliau tidak sehat secara fisik, terutama untuk membersihkan unit beliau dan pergi berbelanja. Kami tidak melihat ada tetangga beliau yang selalu siap membantu. Hal yang mungkin lumrah juga karena semua orang sibuk dengan kegiatan masing – masing.
Suatu hari, salah seorang teman dari Indonesia, istri seorang teman Phd, berinisiatif untuk mengetok pintu beliau dan bertanya. Singkat cerita, si nenek meminta bantuan teman tersebut untuk membantu beliau bersih – bersih sekali seminggu dan menemani beliau pergi belanja mingguan. Beliau kukuh, tidak ingin menerima bantuan secara cuma – cuma. Waktu yang dihabiskan oleh teman tersebut dalam membantu beliau dihargai sesuai UMR. Untuk beberapa saat, teman ini pulang ke Indonesia, dan kemudian meminta kesediaan teman – teman lain untuk menggantikan beliau, membantu si nenek. Âlhamdulillah, penulis ada waktu kosong di pagi hari sebelum jam 9 di hari tertentu, maka penulis menawarkan diri.
Suatu hal unik yang penulis alami adalah ketika suatu kali penulis di usir si nenek. Setelah pergi berbelanja bersama beliau, penulis kemudian membantu beliau bersih – bersih. Tanpa penulis sadari, waktu yang harusnya 1.5 jam, sesuai perjanjian awal sudah terlewat. Penulis mencoba menjelaskan bahwa penulis tidak keberatan bekerja melebihi waktu yang disepakati dengan imbalan sesuai dengan yang beliau telah sediakan. Tidak perlu penambahan. Namun, beliau tidak bersedia, dan akhirnya beliau berujar, I do not like people in my house! Ucapan beliau ini mematahkan keinginan penulis untuk berdebat lebih lanjut dengan beliau. Terpaksa, pekerjaan yang menurut penulis belum sepenuhnya selesai tersebut, penulis tinggalkan setelah si nenek, seperti biasa, memberikan imbalan yang beliau sediakan. Mungkin bagi beliau, adalah tidak benar untuk memperkerjakan orang melebihi kesepakatan, hal yang berlaku hampir untuk setiap pekerjaan. Orang – orang bekerja sesuai kesepakatan. Jika berlebih, si pemberi kerja wajib memberikan imbalan tambahan. Demikian sepenggal cerita yang penulis harap bisa memberikan manfaat dan motivasi, terutama bagi penulis, dan mudah-mudahan juga kita semua untuk sama – sama saling belajar untuk menjadi individu lebih baik. Mugkin adalah benar bahwa keberadaan kita di suatu tempat bisa memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar hal – hal yang tidak bisa kita pelajari, jika kita tetap bertahan dimana kita berada. Menonton video dan membaca saja, mungkin tidak akan memberikan kita pengalaman sebagaimana jika ketika kita benar – benar mengalaminya sendiri. Juga, mudah – mudahan dengan kita saling mengunjungi, antara Barat dan Timur, dunia yang lebih damai dan saling menghargai akan lebih dapat kita rasakan manfaatnya. Kita bisa saling memahami dalam setiap perbedaan yang ada. Tentu, untuk pergi merantau, kemanapun, cukupkan lah bekal, sehingga kita tetap bisa kokoh berdiri dengan nilai – nilai yang kita yakini. (Padang, 22 April 2024, Nurhemida)