Oleh: Nurhemida Ph.D
Karena suatu keperluan, pada Sabtu/11 Mei 2024 sore, penulis bersama seorang keponakan berkendara dari arah pantai Padang menuju Alai, melewati Jl. Ir. H. Juanda.
Setelah melewati jembatan Purus, keponakan penulis sedikti berteriak, “Tante, lihat!” katanya sambil melambatkan laju kendaraan. Penulis pun menoleh ke kiri, arah pinggir jalan. Apa yang penulis lihat, rasanya sangat sulit penulis cerna. Tampak, seorang anak laki-laki, mungkin berumur sekitar dua belas tahun, sedang merangkak diantara pinggiran trotoar dan jalan raya. Yang membuat lebih miris, dia tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun.
Penulis dan keponakan tetap melaju, terdiam. Kami merasa shock, dan masih mencoba mencerna apa yang kami lihat. Sesampai di lampu merah setelah jembatan Purus itu, penulis mengajak keponakan untuk berputar balik.
“Ayo, kita putar balik, kita lihat lagi dan carikan pakaian”. Kami kembali menuju arah jembatan dan posisinya sudah sedikit berpindah. Sepertinya dia memang berjalan seperti itu, mungkin menuju suatu tempat.
Kami putuskan untuk mencari pakaian dan sedikit makanan untuk pengisi perutnya yang mungkin kosong. Sambil berkendaraan, kami menerka-nerka dan berdiskusi. Kira- kira apa yang terjadi dengan anak tersebut? Apakah dia memiliki keluarga atau tidak? Setelah kami mendapatkan pakaian, bagaimana tindakan kami selanjutnya? Mungkinkah kami memasangkan pakaiannya? Keponakan mencoba mencari bantuan dengan menghubungi dua orang teman laki-lakinya. Namun sayang, mereka sedang tidak di Padang dan lokasi yang memungkinkan untuk membantu. Sambil terus berkendara mencari toko pakaian, kami putuskan untuk meminta tolong nantinya kepada siapa saja lelaki yang berada dekat posisi anak tersebut, untuk dibantu pasangkan pakaian. Kami juga mencoba mencari informasi tentang Kantor Dinas Sosial. Tetapi, kami maklum, hari libur, kantor tutup.
Singkat cerita, akhirnya kami mendapatkan pakaian dan makanan. Kami kembali berkendara menuju jalan Ir. H. Juanda. Kami dapati anak tersebut sudah mendekati seberang persimpangan SMAN 2 Kota Padang. Posisinya diantara sebuah mobil yang sedang parkir dengan jalan raya. Kami turun dari kendaraan dengan perasaan sedikit lega karena kami melihat ada dua orang bapak-bapak dan seorang remaja laki-laki sedang berada di trotoar dekat mobil diparkir tersebut.
Penulis sapa seorang bapak dan bertanya, apakah si anak yang duduk di aspal jalan raya disebelah mobil yang terparkir berasal dari daerah sekitar. Si remaja yang menjawab, “Bukan!”
Kemudian kepada si bapak, penulis julurkan kantong berisi pakaian, meminta tolong beliau untuk tolong pasangkan. Namun, beliau menolak dan berujar, “Kasih saja ke dia. Di Pasar Raya juga banyak yang memberi dia pakaian, tetapi dia akan melepasnya kembali. Memang seperti itulah dia!”
Penulis dan keponakan kemudian mendekatinya, menyerahkan bingkisan pakaian dan makanan. “Makan ya, nak, ini ada makanan” kata penulis.
Terlihat dia kemudian membuka bungkusan makanannya. Karena kami perempuan, dan rasanya tidak mungkin memasangkan pakaiannya, kami kemudian kembali ke mobil. Tetapi rasanya tetap masih sesak di dada. Kami amati dia, sepertinya bisa memahami kalau dia dikasih makanan. Keponakan kemudian mengambil foto dan video, berpikir, jika nanti bisa digunakan dan diteruskan ke instansi seperti Dinas Sosial.
Kami kembali melaju menuju Alai. Tapi lagi-lagi rasanya belum puas. Benarkah dia sudah makan? Apakah dia masih duduk di posisi yang cukup berbahaya tersebut? Kembali kami berputar balik. Ingin kembali mencoba, jika ada bapak-bapak atau orang dewasa laki-laki lain yang bisa kami minta tolong. Beberapa meter dari posisinya yang masih sama, kami melihat ada pedagang Cilor dengan gerobaknya. Kami kembali berdiskusi dan memutuskan akan mencoba minta tolong kepada beliau.
Setelah dihampiri keponakan dan dijelaskan maksud kami, si pedagang Cilor pun menolak.
“Maaf, saya tidak berani. Tidak mungkin saya menolongnya” jawab beliau.
Menghela nafas, kami teringat sebuah pepatah Minang, “Sabulek-bulek jantuang, bakulipak”. Seberapa pun keinginan kami untuk mencoba memasangkan pakaian, kami memiliki keterbatasan. Kami bukan perempuan yang sangat berani bertindak ketika laki-laki sekitar kami pun merasa tidak sanggup.
Maka, kami kembali berkendara menuju Alai. Di jalan Jaksa Agung Soerapto, kami melihat ada dua orang polisi patroli yang sepertinya sedang melakukan tindakan tilang kepada dua pengendara kendaraan bermotor. Kami tunggu mereka selesai, dan kemudian menghampiri salah seorang dari mereka. Kami jelaskan apa yang kami lihat, dan meminta bantuan beliau jika mungkin membantu memasangkan pakaian.
“Anak yang jalannya merangkak pakai tangan dan kaki? Tidak pakai baju? Dia ada keluarganya! Memang seperti itulah dia” begitu ucap beliau.
“Apa mungkin bisa dibantu ke Dinas Sosial, pak?” tanya keponakan lebih lanjut.
“Saya kurang paham juga mengenai hal tersebut. Tapi niat adik dan Ibuk sudah ada. Mungkin cukup begitu yang bisa dilakukan” tutup beliau sambil berjalan menuju teman beliau yang sedang menunggu.
Kami saling pandang, masih belum bisa menerima. Kami lihat motor patroli melaju menuju pasar pagi Raden Shaleh. Kami pikir, mungkin mereka setidaknya akan melihat keadaan anak tersebut karena kami sudah jelaskan dengan cukup detail. Penasaran, kami pun mengikuti mereka dari belakang. Tetapi kemudian mereka belok kanan, berputar balik menuju Jl. Jaksa Agung Soerapto. Kami belok kiri, kembali ingin memastikan apa yang dilakukan anak tersebut.
Kami lihat dia sedang makan dan kantong pakaian yang kami berikan juga sudah dibukanya. Tetapi masih belum dipasang. Kami lihat ada penjual sate, rasa-rasanya ingin kami kembali mencoba mencari bantuan. Namun, kami masih di kendaraan, si bapak penjual sate sudah berlalu melewati si anak, tanpa menoleh. Seakan dia tak ada atau kondisinya sudah merupakan hal yang sangat wajar. Kami tidak tahu mana diantara kedua kemungkinan itu yang dirasakan oleh beliau.
Kami sama-sama terdiam saja di mobil. Tidak tahu apa lagi yang bisa kami lakukan. Keponakan berulang berujar, “Sakit kepala, Nte… sesak rasanya”.
“Ayo, kita pulang! Sudah hampir satu jam kita berputar-putar mencoba mencari solusi. Nanti di rumah kita coba pikirkan kembali apa yang bisa kita lakukan” ajak penulis.
Tidak berapa lama sampai di rumah, hujan turun cukup deras. Kembali kami menarik nafas, seperti apakah kondisi dia? Keponakan kemudian menulis pesan melalui DM Instagram ke Dinas Sosial Kota Padang.
Penulis kemudian menulis artikel ini. Tidak ada niat kami selain mencoba menyampaikan fakta yang kami lihat dan berharap akan ada solusi yang baik secepatnya. Mudah-mudahan tulisan ini dibaca oleh instansi atau siapa saja yang memiliki kuasa dan daya lebih besar dari kami.
Mengutip Code for America, “Human-centred Government”, pemerintah dapat dan harus melayani manusia dan kemanusiaan. Apalagi ketika masyarakat tidak lagi berdaya, seyogyanya disanalah kehadiran pemerintah semakin dinantikan. (Padang, 11 Mei 2024, NH).