Oleh: Labai Korok
Siti Nurbaya adalah sebuah roman karya Marah Rusli yang menceritakan kisah cinta antara Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang terhalang oleh adat dan perjodohan paksa dengan Datuk Maringgih. Saat ini kisah Siti Nurbaya ini dianggap nyata ada akhirnya menjadi mitos berakibat budaya poligami hilang, namun berselingkuh mulai dijadikan pembenaran.
Cerita Siti Nurbaya ini hanya hiburan Marah Rusli, tidak ada kebenarannya, bisa saja Marah Rusli menulis sedang galau, meskipun Siti Nurbaya ini fiksi, banyak diyakini sebagai cerminan realitas sosial di masyarakat Minangkabau pada masa itu, khususnya tentang penindasan perempuan dan perlawanan terhadap adat yang tidak manusiawi.
Yang namanya cerita fiksi tentu tergantung dari kejiwaan dari pada Penulis itu sendiri, namun bisa juga ada muatan-muatan nilai idiologis didalamnya untuk mengakhiri sebuah tradisi yang pada dasarnya bak sebenarnyan diminangkabau.
Penulis mencoba berpendapat bahwa kisah Siti Nurbaya ini merupakan karya yang mengawali berakhirnya budaya poligami dalam kehidupan urang Minangkabau, kisah Siti Nurbaya ini cikal bakal terbentuknya paham bahwa selingkuh atau berkhalwat itu tidak masalah yaitu Siti Nurbaya dengan Samul Bahri berpacaran/bercinta yang pada era itu sangat tabu dak dilarang.
Disini posisi Datuk Maringi sebagai pucuk adat dilecehkan dengan bahasa poligami yang dilakukan orang penting dahulu (pejabat nagari) tidak murni menunaikan ibadah atau mengikuti ajaran agama Islam pada waktu itu.
Akhirnya sampai hari ini tokoh Datuk dalam cerita Siti Nurbaya sebagai simbol poligami dilakukan tidak baik dan tidak tepat, disini pesan disampaikan bahwa setiap poligami itu merupakan modus yang akan mensensarakan perempuan.
Pada akhirnya poligami dilakukan oleh orang itu boleh sesuai agama, akhirnya dikesankan seperti prilaku Datuk Maringi yang memaksa perjodohan melalui modus, bukan lagi nilai kemulyaan.
Penulis berpendapat bahwa dengan kisah Siti Nurbaya ini difilmkan maka semakin menguatkan bahwa budaya poligami diberangus dan perselingkuhan mulai dimaklumi ditengah masyarakat Indonesia dan Minangkabau.
Sehingga saat ini prilaku poligami dianggap menyimpang oleh kaum perempuan, ada kehidupan Poligami berarti ada ketidak adilan disini, maka terbayang kisah kelam sosok Siti Nurbaya yang akhirnya meninggal dikarenakan poligami tersebut.
Menurut Penulis sudah saatnya kisah Siti Nurbaya itu dihapus dari pemikiran masyarakat beragama, termasuk memintak kepada Pemkot Padang mengganti simbol Siti Nurbaya me jadi simbol budaya milik orang Padang atau Minang seperti jembatan Siti Nurbaya diganti nama jembatan Padang.
Sudah saatnya juga Pemerintah Daerah menghilangkan budaya anti poligami dengan regulasi khusus yang mendorong terbentuknya budaya poligami di ranah Minang seperti adanya Peraturan Daerah (PERDA) tentang poligami, seluruh elemen masyarakat harus kembali budayakan kehidupan poligami ini untuk antisipasi perselingkuhan.
Semua keadilan ini perlu diwujudkan lagi bahwa poligami bukan hal yang horror seperti kisah Siti Nurbaya yang selama ini dipahami oleh masyarakat, kalangan wanita Indonesia.
Namun perlu dilihat saat ini masih banyak tokoh Minang, Ulama Minang yang menjalankan kehidupan poligami secara baik dan mereka bahagia.